Tokoh Maestro Indonesia |
Gesang
adalah seorang pencipta lagu Jawa dan seorang penyanyi, beliau juga merupakan
seorang seniman yang telah dikenal sebagai ‘Maestro Keroncong Indonesia‘.
Memiliki nama lengkap Gesang Martohartono atau lebih akrab dengan nama Gesang,
terlahir dari keluarga pengusaha batik di Surakarta, 1 Oktober 1917, Solo.
Nama
awal komponis lagu-lagu keroncong ini adalah Sutadi. Namun, kemudian diganti
dengan nama Gesang oleh ayahnya, Martodihardjo. Sebab, ketika memakai nama
Sutadi, beliau sering sakit – sakitan terutama panas demam hingga menggigil
yang nyaris merenggut jiwanya. Dalam bahasa Jawa, Gesang memiliki makna hidup.
Gesang
pernah menikah dan berpisah pada tahun 1962, tanpa dikaruniai seorang anak.
Pada tahun 1980, Gubernur Jawa Tengah Soepardjo Rustam memberi sebuah
rumah bertipe 36 di Perumnas-Palur, Karanganyar, Solo, kepadanya ketika berusia
62 tahun. Setelah 20 tahun tinggal, akhirnya Gesang memilih untuk tinggal di
daerah Serengan, kota Solo, Gesang beserta keluarga dan keponakan.
Sejak
kanak-kanak darah seni yang mengalir di tubuh Gesang sudah lama bergejolak dan
akhirnya beliau menjatuhkan pilihan menggeluti dunia seni musik keroncong yang
diakui sebagai khas Indonesia. Gesang kecil yang berada di lingkungan juragan
batik Kampung Kemlayan itu, lebih senang bersenandung dikala teman-teman sebayanya gemar bermain sepak bola.
batik Kampung Kemlayan itu, lebih senang bersenandung dikala teman-teman sebayanya gemar bermain sepak bola.
Awalnya,
Gesang adalah seorang penyanyi lagu-lagu keroncong dan sering menyatakan
dirinya bukan seorang musisi, sebab memang tidak terlalu terampil dalam
memainkan alat musik. Dalam proses menciptakan sebuah lagu, Gesang mengolahnya
hanya dengan bantuan seruling atau gitar akustik. Walau sederhana, namun dapat
menghasilkan sebuah nada lagu yang puitis serta terkesan sederhana, polos dan
bersahaja.
Gesang
tergabung dalam grup musik keroncong “Marko” dan disaat usianya belum
genap 20 tahun tepatnya pada 1934, lahirlah lagu yang beri judul “Si Piatu”
hasil dari gubahan Gesang yang pertama. Lagu tersebut terinspirasi dari kisah
hidupnya, karena sejak usia lima tahun dia telah ditinggal ibundanya Sumidah,
yang diibaratkannya bagai putri rembulan.
Lagu
“Si Piatu” baru dilantunkan lewat Radio untuk pertama kalinya di SRV
(Solosche Radio Vereeniging), kala itu Gesang muda hidup bersama ibu
tirinya, Sumirah selama 14 tahun.
Pada
masa perang dunia II (1939-1945), Gesang pernah menciptakan beberapa lagu
keroncong, seperti keroncong roda dunia, keroncong si piatu dan sapu tangan.
Namun, lagu buah karya yang beliau ciptakan itu kurang mendapat respon dari
masyarakat.
Ketika
usianya menginjak 23 tahun (1940), Gesang muda sangat gagum dengan sungai
Bengawan Solo ketika sedang duduk di tepinya. Kemudian sang Maestro terilhami
dan menciptakan sebuah lagu yang diberi judul Bengawan Solo. Lagu
yang diciptakan dalam waktu 6 bulan ini juga populer di Jepang, dan sempat
digunakan dalam salah satu film layar lebar di Jepang. Lewat lagu Bengawan solo
inilah, kemudian mengantarkan dirinya berkeliling Asia.
Sebagai
seorang komponis lagu-lagu keroncong dengan karya bermutu tinggi, Gesang tidak
tergolong sebagai pencipta yang produktif. Selama tahun 1938, Gesang tercatat
hanya menghasilkan lagu ”Si Piatu“. Dalam buku biografi Gesang Mengalir
Sampai Jauh yang diterbitkan Balai Pustaka (1999), selama tahun 1939 Gesang juga
hanya berhasil menggubah dua lagu berjudul “Roda Dunia” dan “Suasana
Desa“. Lagu “Bengawan Solo” yang legendaris itu, juga merupakan lagu
satu-satunya yang dia ciptakan pada tahun 1940 dan telah diterjemahkan kedalam,
setidaknya, 13 bahasa (termasuk bahasa Inggris, bahasa Tionghoa, dan bahasa
Jepang).
1983,
Jepang mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo. Taman yang
pengelolaannya didanai oleh Dana Gesang ini adalah suatu bentuk penghargaan
atas jasanya terhadap perkembangan musik keroncong. Dana Gesang sendiri adalah
sebuah lembaga yang didirikan untuk Gesang di Jepang.
Gesang
yang hanya menyelesaikan pendidikan kelas lima Sekolah Rakyat Ongko Loro,
termasuk seniman berbakat dan fenomenal. Sang komponis besar ini, menyimpan
sederet penghargaan dari berbagai lembaga. Seperti, penghargaan dari Oisca
International untuk karyanya sebagai pencipta lagu “Bangawan Solo“,
kemudian sejumlah penghargaan dari dalam negeri, seperti dari wali kota,
gubernur, Dephankam, Deppen dan yang tertinggi penghargaan hadiah seni dari
Presiden RI.
Sepanjang
87 tahun usianya, Gesang hanya mampu menghasilkan tidak lebih dari 42 karya,
terdiri dari lagu-lagu berirama keroncong asli maupun langgam, termasuk
sejumlah langgam Jawa. Selain lagu “Bengawan Solo“, tercatat lagu-lagu
berjudul “Kr. Jembatan Merah“, “Kr. Saputangan“, “Kr.
Tirtonadi“, “Kr. Sebelum Aku Mati,” maupun langgam Jawa “Caping
Gunung“, “Ali-ali“, “Ngimpi“, “Pamitan” yang juga
dinyanyikan mendiang Broery Pesulima dalam versi bahasa Indonesia. Semua
lagu tersebut adalah lagu-lagu karya Gesang yang monumental. Gesang masih mampu
merekam suaranya, saat usianya menginjak 85 tahun. Rekaman itu bertajuk Keroncong
Asli Gesang yang diproduksi oleh PT Gema Nada Pertiwi (GMP) Jakarta,
September 2002.
Melalui
PT GMP, sudah empat kali album khusus Gesang diproduksi diantaranya pada 1982,
1988, 1999, dan 2002.
Dalam rekaman compact disk (CD) tersebut terdapat enam dari 14 lagu yang belum pernah direkam sebelumnya. Yaitu Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963), Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949), dan Swasana Desa (1939).
Dalam rekaman compact disk (CD) tersebut terdapat enam dari 14 lagu yang belum pernah direkam sebelumnya. Yaitu Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963), Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949), dan Swasana Desa (1939).
Gesang “Maestro keroncong Indonesia”
menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta, Jawa
Tengah, hari Kamis 20 Mei 2010, pada umur 92 tahun.
(Sumber : Tembang.com, kapanlagi.com
dan Merdeka.com)
0 komentar:
Posting Komentar